Tugas Individu Dosen
Pembimbing
Pendidikan Anti Korupsi Drs. Khaidir Saib
OLEH :
FITTRI YANTI
NIM.140353122242
JURUSAN MANAJEMEN
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI RIAU
PEKANBARU
2016
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Dampak Tindakan Korupsi
Diberbagai Aspek.
Makalah
ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir
kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Pekanbaru , 7 April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ..…………………...................................................................
i
Daftar
Isi ….….……………….........................................................................
ii
Bab
I. Pendahuluan …….……..………............................................................
1
1.1.
Latar Belakang ………..…………………...................................................1
Bab
II. Tinjauan Pustaka ………….………………………………………....
4
Bab
III Pembahasan ………………………………...........................................
7
3.1.
Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi ...................……….
....................... 7
3.2.
Dampak Korupsi Terhadap Sosial Kemiskinan .......................................
14
3.3.
Dampak Korupsi Terhadap Birokasi Pemerintahan ….............................
16
3.4.
Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi ..…………...............
18
3.5.
Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum ………............................
20
3.6.
Dampak Korupsi Terhadap Pertahanan Keamanan .…............................
21
3.7.
Dampak Korupsi Terhadap Kerusakan Lingkungan …….........................
23
Bab
IV Kesimpulan Dan Saran ........................................................................
26
A.
Kesimpulan ................................................................................................
26
B.
Saran ..............................................................................................……….
26
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Korupsi
di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap
lestari sekalipun diharamkan oleh aturan
hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang
silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila
disederhanakan penyebab korupsi meliputi
dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor
eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari
luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan,
kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif
dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari
aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek
politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan, aspek managemen & organisasi yaitu ketiadaan
akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum,
terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya
penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang
kurang mendukung perilaku anti korupsi.
Kemajuan suatu negara sangat
ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan.
Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua
aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama
ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang
terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan.
Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor
manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari
keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negaratercinta
ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah
negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa demikian? Salah
satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas
tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga
menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.
Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat
kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya
korupsi.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social
(penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah
mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang
lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasankeuangan
negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggotalegislatif dengan
dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar batas
kewajaran.
Bentuk perampasan dan pengurasan
keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan
cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap
kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas?
Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas.
Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi
sampai pada titik nadir yang paling rendahmaka jangan harap Negara ini akan
mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah
negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan
dapat membawa negara ke jurang kehancuran.Dalam arti yang luas, korupsi atau
korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintah pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk
sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan
kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi,
korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari
masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara
korupsi dan kriminalitas kejahatan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih
tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption”
(Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara
harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Istilah
korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah
“kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran”. Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”. Selanjutnya untuk beberapa
pengertian lain, disebutkan bahwa :
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang
suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
2.
Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya; dan;
3. Koruptor
artinya orang yang melakukan korupsi. Dengan demikian arti kata korupsi adalah
sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan
korupsi menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk,
menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan
dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatan.
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang
dimaksud corruptie adalah korupsi,
perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Selanjutnya
Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi
dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang
berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang
kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial
manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled
corrupt”.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi
adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeduk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968)
adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima
oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi
kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang
yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka
dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada
hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi
sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi
korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum
dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang
dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi
dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim
(dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan
tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si
pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas
jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas
jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk
diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang
mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi
Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk
melakukan perbaikan dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan dilakukan
dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan,
misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah
akan mendorong terjadinya inefisiensi.
Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dan
seharusnya melakukan kegiatan yang produktif menjadi keinginan untuk
merealisasikan peluang korupsi dan pada akhimya menyumbangkan negatif value
added. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost memperbesar biaya produksi, dan
selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen dan masyarakat
(dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada kesejahteraan
masyarakat yang turun.
Korupsi mereduksi peran pundamental pemerintah
(misalnya pada penerapan dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property
rights dan sebagainya). Pada akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif
pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai.
Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar
pada perekonomian, dan juga proses demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat
pada negara yang sedang mengalami masa transisi, baik dari tipe perekonomian
yang sentralistik ke perekonomian yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter
ke pemerintahan yang lebih demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus
Indonesia.
Korupsi memperbesar angka kemiskinan. ini
sangat wajar. Selain dikarenakan program-program pemerintah sebagaimana disebut
di atas tidak mencapai sasaran, korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang
mungkin diterima oleh si miskin. Menurut Tanzi (2002), perusahaan perusahaan
kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk
pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa
mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang
seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena
perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).
Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an
enermous destruction effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan
negara, khususnya dalam sisi ekonomi sebagai pendorong utama kesejahteraan
masyarakat. Mauro menerangkan hubungan antara korupsi dan ekonomi. Menurutnya
korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan
ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan
kesejahteraan. Hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan
bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan hal ini mendorong pemerintah
berupaya menanggulangi korupsi, baik secara preventif, represif maupun kuratif.
Di sisi lain meningkatnya korupsi berakibat pada
meningkatnya biaya barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang
negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika pemerintah
mengeluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai dengan maraknya praktek
korupsi, bukannya memberikan nilai positif misalnya perbaikan kondisi yang
semakin tertata, namun justru memberikan negatif value added bagi perekonomian secara umum.
Misalnya, anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam perputaran ekonomi,
justru dialokasikan untuk birokrasi yang ujung-ujungnya terbuang masuk ke
kantong pribadi pejabat.
Berbagai macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara
alamiah apabila korupsi sudah merajalela dan berikut ini adalah hasil dari dampak
ekonomi yang akan terjadi, yaitu:
1.
Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi
Korupsi
bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam
negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi
dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam
negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan.
Penanaman
modal yang dilakukan oleh pihak dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA) yang
semestinya bisa digunakan untuk pembangunan negara menjadi sulit sekali
terlaksana, karena permasalahan kepercayaan dan kepastian hukum dalam melakukan
investasi, selain masalah stabilitas. Dari laporan yang diberikan oleh PERC
(Political and Economic Risk Consultancy)
pada akhirnya hal ini akan menyulitkan pertumbuhan investasi di
Indonesia, khususnya investasi asing karena iklim yang ada tidak kondusif. Hal
ini jelas karena terjadinya tindak korupsi yang sampai tingkat mengkhawatirkan
yang secara langsung maupun tidak mengakibatkan ketidakpercayaan dan ketakutan
pihak investor asing untuk menanamkan investasinya ke Indonesia.
Kondisi
negara yang korup akan membuat pengusaha multinasional meninggalkannya, karena
investasi di negara yang korup akan merugikan dirinya karena memiliki ‘biaya
siluman’ yang tinggi. Dalam studinya, Paulo Mauro mengungkapkan dampak korupsi
pada pertumbuhan investasi dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara langsung
dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi. Berbagai organisasi
ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia menyadari bahwa suburnya korupsi
di suatu negara adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanam.
2.
Penurunan Produktifitas
Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi,
maka tidak dapat disanggah lagi, bahwa produktifitas akan semakin menurun. Hal
ini terjadi seiring dengan terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa
berkembang lebih baik atau melakukan pengembangan kapasitas. Penurunan
produktifitas ini juga akan menyebabkan permasalahan yang lain, seperti
tingginya angka PHK dan meningkatnya angka pengangguran. Ujung dari penurunan
produktifitas ini adalah kemiskinan masyarakat.
3.
Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik
Ini adalah sepenggal kisah sedih yang dialami masyarakat
kita yang tidak perlu terjadi apabila kualitas jalan raya baik sehingga tidak
membahayakan pengendara yang melintasinya. Hal ini mungkin juga tidak terjadi
apabila tersedia sarana angkutan umum yang baik, manusiawi dan terjangkau.
Ironinya pemerintah dan departemen yang bersangkutan tidak merasa bersalah
dengan kondisi yang ada, selalu berkelit bahwa mereka telah bekerja sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan.
Rusaknya jalan-jalan, ambruknya jembatan, tergulingnya
kereta api, beras murah yang tidak layak makan, tabung gas yang meledak, bahan
bakar yang merusak kendaraan masyarakat, tidak layak dan tidak nyamannya
angkutan umum, ambruknya bangunan sekolah, merupakan serangkaian kenyataan
rendahnya kualitas barang dan jasa sebagai akibat korupsi. Korupsi menimbulkan
berbagai kekacauan di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik
ke proyek-proyek lain yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat birokrasi yang korup akan menambah kompleksitas
proyek tersebut untuk menyembunyikan berbagai praktek korupsi yang terjadi.
Pada akhirnya korupsi berakibat menurunkan kualitas barang dan jasa bagi publik
dengan cara mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, syarat-syarat
material dan produksi, syarat-syarat kesehatan, lingkungan hidup, atau
aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
4.
Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak
Sebagian
besar negara di dunia ini mempunyai sistem pajak yang menjadi perangkat penting
untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya dalam menyediakan barang dan jasa
publik, sehingga boleh dikatakan bahwa pajak adalah sesuatu yang penting bagi
negara. Di Indonesia, dikenal beberapa jenis pajak seperti Pajak penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Meterai (BM), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).
Pajak
berfungsi sebagai stabilisasi harga sehingga dapat digunakan untuk
mengendalikan inflasi, di sisi lain pajak juga mempunyai fungsi redistribusi
pendapatan, di mana pajak yang dipungut oleh negara selanjutnya akan digunakan
untuk pembangunan, dan pembukaan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan
menyejahterakan masyarakat. Pajak sangat penting bagi kelangsungan pembangunan
negara dan kesejahteraan masyarakat juga pada akhirnya.
Kondisi
penurunan pendapatan dari sektor pajak diperparah dengan kenyataan bahwa banyak
sekali pegawai dan pejabat pajak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dan memperkaya diri sendiri. Kita tidak bisa membayangkan apabila
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan
berakibat juga pada percepatan pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri,
inilah letak ketidakadilan tersebut.
5.
Meningkatnya Hutang Negara
Kondisi
perekonomian dunia yang mengalami resesi dan hampir melanda semua negara
termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, memaksa negara-negara
tersebut untuk melakukan hutang untuk mendorong perekonomiannya yang sedang
melambat karena resesi dan menutup biaya anggaran yang defisit, atau untuk
membangun infrastruktur penting. Bagaimana dengan hutang Indonesia?
Korupsi
yang terjadi di Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri yang semakin
besar. Dari data yang diambil dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutang,
Kementerian Keuangan RI, disebutkan bahwa total hutang pemerintah per 31 Mei 2011
mencapai US$201,07 miliar atau setara dengan Rp. 1.716,56 trilliun, sebuah
angka yang fantastis. Hutang tersebut terbagi atas dua sumber, yaitu pinjaman
sebesar US$69,03 miliar (pinjaman luar negeri US$68,97 miliar) dan Surat
Berharga Negara (SBN) sebesar US$132,05 miliar. Berdasarkan jenis mata uang,
utang sebesar US$201,1 miliar tersebut terbagi atas Rp956 triliun, US$42,4
miliar, 2.679,5 miliar Yen dan 5,3 miliar Euro. Posisi utang pemerintah terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, jumlah utang yang dibukukan
pemerintah sebesar US$169,22 miliar (Rp1.590,66 triliun). Tahun 2010, jumlahnya
kembali naik hingga mencapai US$186,50 miliar (Rp1.676,85 triliun). Posisi utang pemerintah saat ini juga naik
dari posisi per April 2011 yang sebesar US$197,97 miliar. Jika menggunakan PDB
Indonesia yang sebesar Rp6.422,9 triliun, maka rasio utang Indonesia tercatat
sebesar 26%.
Sementara
untuk utang swasta, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan jumlah nilai utang
pihak swasta naik pesat dari US$73,606 miliar pada 2009 ke posisi US$84,722
miliar pada kuartal I 2011 atau setara 15,1%. Secara year on year (yoy) saja,
pinjaman luar negeri swasta telah
meningkat 12,6% atau naik dari US$75,207 pada kuartal I 2010. Dari total utang
pada tiga bulan pertama tahun ini, utang luar negeri swasta mayoritas disumbang
oleh pihak non-bank sebesar US$71,667 miliar dan pihak bank sebesar US$13,055
miliar (www.metronews.com /read/news/ 2011,14 Juni 2011).
Bila
melihat kondisi secara umum, hutang adalah hal yang biasa, asal digunakan untuk
kegiatan yang produktif hutang dapat dikembalikan. Apabila hutang digunakan
untuk menutup defisit yang terjadi, hal ini akan semakin memperburuk keadaan.
Kita tidak bisa membayangkan ke depan apa yang terjadi apabila hutang negara
yang kian membengkak ini digunakan untuk sesuatu yang sama sekali tidak
produktif dan dikorupsi secara besar-besaran.
3.2
Dampak Korupsi Terhadap Sosial dan Kemiskinan
Ada
beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat korupsi,
diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin)
cenderung menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah
ketika melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki
gengsi sendiri dan imbalam materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering
kita temui ditengah–tengah masyarakat. Kedua, Investasi dalam prasarana cenderung
mengabaikan proyek–proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi
biasanya para penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun minim
manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang
kampanye dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari masyarakat. Ketiga,
orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif, hal ini dikarenakan mereka
tidak memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak sehingga gampang
dikelabuhi oleh oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam menjual
hasil pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal maupun
yang tidak legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang harus berurusan
dengan instansi pemerintah maka dia menyediakan uang, hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi
berbelit–belit bahkan ada sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa
dipermudah”.
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi
kehidupan masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan
Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan
anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah
satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak
mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut harga-harga kebutuhan pokok seperti beras
semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran bertambah.
Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali kepada para koruptor.
Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat pajak dan
retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh negara hak
mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut telah
dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara
melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk
kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat miskin.
Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang
rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat
miskin
3.3 Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi, baik sipil maupun
militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab,
di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi
kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu, Transparency International,
lembaga internasional yang bergerak dalam upaya anti korupsi, secara sederhana
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan
korupsi di sektor publik ini dalam dua jenis, yaitu korupsi administratif dan
korupsi politik. Secara administratif, korupsi bisa dilakukan ‘sesuai dengan
hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan,
serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’ yaitu meminta imbalan uang untuk
melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi
pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai
surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir
atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin
surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi
yang kedua, muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus
pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Sementara pada birokrasi militer,
peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya
transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata serta
nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer yang
seringkali berlindung di balik institusi militer.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang
dipimpin oleh Dr. Indria Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh
ABRI akibat korupsi:
Ø Secara formal material anggaran
pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena
ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan
legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada
pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain
di luar APBN.
Ø Perilaku bisnis perwira militer dan
kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini
menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
Ø Orientasi komersial pada sebagian
perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira
militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga
hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di
perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada
di lapangan.
Ø Suka atau tidak suka, orientasi
komersial akan semakin melunturkan semanagat profesionalisme militer pada
sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama
angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan
nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal
kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh
bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah
beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil,
perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina).
Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat
sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais
dengan para perwira yang berorientasi komersial.
3.4 Dampak Korupsi Terhadap Politik
dan Demokrasi
Dalam
data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India menempati
peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia. Meskipun
India adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus melanda.
Sebaliknya, di Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah
menjadi praktik yang lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong
negara demokrasi. Skor indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati
peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India dan Singapura,
demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya korupsi.
Di
negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap
pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara demokrasi
sejak tahun 1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi dunia,
Indonesia sudah tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004.
Namun, Indeks Persepsi Korupsi 2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118
dengan skor 32. Artinya, masyarakat merasakan bahwa korupsi masih merajalela di
negeri ini.
Mengapa
di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi tampak
tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu
negara.
Ada dua aspek penting yang terkait
dengan demokrasi: prosedur dan substansi. Negara-negara demokrasi baru seperti
Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam demokrasi prosedural. Yang sudah
berjalan adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum.
Hal
ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat meminimalkan
korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat memanipulasi
pemilihan umum yang justru membuat mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan.
3.5 Dampak Korupsi Terhadap
Penegakan Hukum
Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960
berlaku sampai 1971, setelah diungkapkannya Undang-undang pengganti yakni UU
No. 3 pada tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baik pada waktu berlakunya kedua undang-undang tersebut dinilai tidak mampu
berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena undang-undang yang dibuat dianggap tidak sempurna yaitu sesuai dengan
perkembangan zaman, padahal undang-undang seharusnya dibuat dengan tingkat
prediktibilitas yang tinggi. Namun pada saat membuat peraturan
perundang-undangan ditingkat legislatif terjadi sebuah tindak pidana korupsi
baik dari segi waktu maupun keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu
yang diperoleh mereka ketika melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan
mengabaikan masyarakat.
Menyikapi hal seperti itu pada tahun
1999 dinyatakan undang-undang yang dianggap lebih baik, yaitu UU No.31 tahun
1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai pengganti UU No.
3 tahun 1971. kemudian pada tanggal 27 Desember telah dikeluarkan UU No. 30
tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah lembaga negara
independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini berarti dengan
dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka diharapkan aparat
penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum tersebut dengan sempurna.
Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah menggerogoti
kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum sebagai
pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian
antara undang-undang yang dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini
dikarenakan sebagai kekuatan politik yang melindungi pejabat-pejabat negara.
Sejak dikeluarkannya undang-undang tahun 1960, gagalnya pemberantasan korupsi
disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara terlalu turut campur dalam
pemberantasan urusan penegakkan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses
jalannya peradilan. Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum tindak
pidana di Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh
pejabat-pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya
untuk mengadili pejabat tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos,
pejabat tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat
perlakuan yang istimewa, dan pada domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak
diterapkan adanya pretrial sehingga banyak koruptor yang diseret ke pengadilan
dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.
3.6 Dampak Korupsi Terhadap
Peratahanan Keamanan
Korupsi di Bidang Pertahanan dan Keamanan belum dapat
disentuh oleh agen-agen pemberantas kosupsi. Dalam bidang Pertahanan dan
Keamanan, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul akibat tidak
adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata
dan kepolisian serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan
oknum TNI/Polri yang seringkali berlindung di balik institusi Pertahanan dan
Keamanan.
Tim
peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria
Samego (1998) mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat
korupsi:
1. Secara formal material anggaran
pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena
ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan
legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada pembangunan
ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN
2. Perilaku bisnis perwira militer dan
kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini
menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
3. Orientasi komersial pada sebagian
perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira
militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga
hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di
perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada
di lapangan.
4. Suka atau tidak suka, orientasi
komersial akan semakin melunturkan semangat profesionalisme militer pada
sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama
angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan
nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal kepentingan
nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia
lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi
pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke
atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan
terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi
juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang
berorientasi komersial.
3.7 Dampak Korupsi Terhadap
Kerusakan Lingkungan
Kebanyakan
manusia menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai bahan eksploitasi untuk
tujuan jangka pendek. Kondisi ini tentu sangat medesak untuk segera
dikendalikan. Perlu diadakan suatu sistem yang konkrit untuk melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Jika tidak,
kerusakan lingkungan hidup sudah pasti akan menjadi ancaman besar bagi
peradaban masyarakat dunia. Paradigma yang menempatkan lingkungan sebagai obyek
eksploitasi telah membawa kerusakan lingkungan fatal yang berujung kepada
berbagai bencana alam yang sangat merugikan. Hal ini pun dikuatkan oleh Emil
Salim yang menyimpulkan bahwa ada lima tantangan besar yang harus dihadapi
gerakan penyelamatan lingkungan hidup, diantaranya : pertama adalah
penyelematan air dari eksploitasi secara berlebihan dan pecemaran yang kian
meningkat, baik air tanah, sungai, danau, rawa, maupun air laut. Kedua,
merosotnya kualitas tanah dan hutan akibat tekanan penduduk dan eksploitasi
besar-besaran untuk keperluan pembangunan. Ketiga, menciutnya keanekaan
hayati akibat rusaknya habitat lingkungan berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan. Keempat,
perubahan iklim, dan yang terakhir adalah meningkatnya jumlah kota-kota
berpenduduk banyak.
Melihat kerusakan
lingkungan hutan yang begitu parah seharusnya sudah membuat negara ini menindak
dengan keras terhadap pelaku-pelaku kejahatan kerusakan lingkungan, terutama
yang disertai praktik KKN. Dalam praktik KKN di ranah lingkungan hidup yang
patut diwaspadai adalah para pelaku perusak lingkungan yang datang dari
kalangan pemodal besar seperti perusahaan-perusahaan besar yang terlibat di
sektor kehutanan maupun pertambangan. Hal ini ditegaskan oleh mantan wakil
ketua KPK Chandra Hamzah dalam sebuah worksop investigasi kasus lingkungan di
Jakarta, dimana menurutnya, perusahaan-perusahaan yang melakukan kerusakan
terhadap alam umumnya sulit ditindak karena mereka mengantongi izin usaha yang
cukup. Karena itu menurutnya, yang perlu diwaspadai adalah proses kontrol
administrasi dalam pemberian izin sebelum perusahaan-perusahaan tersebut
beroperasi. Baik itu izin usaha baik dari pemerintah daerah maupun dari
pemerintah pusat. Lalu menurut beliau,
perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di bidang kehutanan namun pada RKAT
tahun berikutnya tercatat memiliki jumlah keuntungan yang sangat besar, maka
patut dicurigai perusahan tersebut mendapatkan hasil bukan dari pohon-pohon
yang mereka tanam melainkan dari hutan-hutan alam yang seharusnya tidak boleh
ditebang.
Permasalahan
yang terjadi, masyarakat kita kurang peduli akan kerugian ekologis ini,
seringkali pelaku-pelaku usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hanya
terfokus mengenai ganti rugi terhadap penduduk setempat. Memang benar
ganti rugi itu perlu bahkan itu kewajiban mereka, namun ganti kerugian oleh
para pelaku usaha jangan hanya sebatas ganti rugi materi kepada manusia, namun
juga kepada alam. Alam yang rusak tidak bisa diperbaiki hanya dengan semalam
perlu waktu berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin saja kerusakan tersebut tidak
akan bisa diperbaiki.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Semua bentuk korupsi dicirkan tiga aspek. Pertama
pengkhianatan terhadap kepercayaan atau amanah yang diberikan, kedua
penyalahgunaan wewenang, pengambilan keuntungan material ciri-ciri tersebut
dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk korupsi yang mencangkup penyapan pemersasn,
penggelapan dan nepotisme
Kesemua jenis ini apapun alasannya dan motivasinya merupakan
bentuk pelanggaran terhadap norma-norma tanggung jawab dan menyebabkan kerugian
bagi badan-badan negara dan publik.
4.2 Saran
Dengan penulis makalah ini, penulis mengharapkan kepada
pembaca agar dapat memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan
sebagai kegiatan motivasi agar kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi dan
dapat menambah wawasan dan pemikiran yang intelektual hususnya dalam mata
kuliah anti korupsi”.
DAFTAR PUSTAKA
MM.Khan.
2000. Political And Administrative Corruption Annota Ted Bibliography.
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas Dari Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme.
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantas Tindak Pidana.
youtube.com Videoslots youtube - videodl.cc
BalasHapusyoutube.com youtube mp3 Videoslots youtube.com Videoslots youtube.com Videoslots 바카라 youtube.com Videoslots youtube.com youtube mp3 Videoslots youtube.com Videoslots youtube.
Lucky Club Casino Site Review 2021 - LuckyClub.live
BalasHapusLucky Club Casino is a one-of-a-kind casino with a long list of quality games from top software developers such as NetEnt and Microgaming. Rating: 6/10 · Review by luckyclub Lucky Club · Price range: Expensive